Ah, ketika mengenang masa SMP dahulu, rasanya seperti membuka lembaran sejarah dari zaman purba, di mana internet masih menjadi sesuatu yang penuh misteri dan warnet adalah tempat paling keren di muka bumi.
Pada tahun 2006, internet seperti hal yang asing dan perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh. Bayangkan saja, setiap hari Jumat, alih-alih mengikuti les di Primagama yang berlokasi di sebelah Apotek Medono Pekalongan, saya lebih sering bolos ke toko buku Salemba yang jaraknya hanya sekitar 10 menit berjalan kaki. Bukan untuk membeli buku, melainkan untuk belajar internet! Karena merasa tidak diperbolehkan mencatat di dalam toko buku (meskipun sebenarnya ini hanya perasaan saya sendiri), saya berusaha menghafal semua langkah membuat email, cara bermain Friendster, hingga mengingat alamat situs-situs menarik. Begitu keluar dari toko, saya segera menuliskan semuanya di selembar kertas sebelum lupa.
Warnet: Pintu Gerbang menuju dunia baru
Hari Jumat menjadi hari khusus untuk menimba ilmu internet di toko buku, sedangkan malam minggunya atau Minggu pagi adalah waktu untuk mempraktikkan hasil belajar di warnet! Warnet langganan saya berada di Jl. Kurinci, dekat koran dinding Suara Merdeka. Pada masa itu, dunia maya terasa sangat menakjubkan dan belum semudah sekarang yang hanya tinggal klik sana-sini. Warnet adalah pintu gerbang menuju dunia baru.
Flashdisk: Simbol Kecanggihan
Ketika memasuki masa SMA, saya memiliki cita-cita baru: membeli flashdisk! Flashdisk pada waktu itu adalah benda yang sangat dihormati, apalagi jika dibandingkan dengan disket yang masih banyak digunakan oleh teman-teman saya. Disket itu lemah, kapasitasnya kecil, dan sering mengalami kerusakan.
Akhirnya, dengan bantuan dana dari Ibu, saya berhasil membeli flashdisk Toshiba berwarna silver dengan kapasitas 2 GB! Harganya? Lebih dari 200 ribu rupiah, jumlah yang sangat besar untuk kantong saya, namun sangat layak. Pertama-tama, flashdisk ini saya gunakan untuk mentransfer foto dari pc rumah ke pc warnet agar bisa diupload ke Friendster. Sebab di rumah, jangankan internet, telepon rumah saja tidak punya!
Tugas Mingguan: Download Lagu MP3 untuk Bapak
Memasukin kelas 2 SMA, Cozy Net, warnet baru yang berlokasi di Jl Sulawesi menjadi markas baru saya.
Selain untuk keperluan foto-foto Friendster, flashdisk ini juga sering menjadi “alat operasi khusus” untuk Bapak. Setiap minggu sebelum ke warnet, Bapak selalu memberikan daftar lagu-lagu yang ingin didownload. Lagu-lagu dari The Beatles, Michael Jackson, Queen, Bee Gees, ABBA, Boney M, Rolling Stones, dan BB King memenuhi daftar tersebut. Yang menarik, terkadang Bapak lupa judul lagunya, tetapi masih ingat penyanyinya. Di situlah tugas saya, untuk mencari-cari lagu yang mungkin dimaksud.
Keterbatasan akses internet pada masa itu menjadikan proses download lagu sebagai kegiatan yang membutuhkan kesabaran luar biasa. Bayangkan saja, satu file lagu MP3 berukuran antara 3 hingga 6 MB, dan dalam sekali kunjungan ke warnet, saya hanya bisa membawa pulang belasan lagu. Lagu-lagu ini kemudian saya pindahkan ke hp Bapak, LG KG300, yang pada masanya sudah dianggap sangat canggih dengan fitur kamera, suara yang jernih, dan layar berwarna yang memukau. Ketika Bapak beralih ke Samsung Galaxy, hp LG itu diwariskan kepada saya.
Hard Disk Eksternal dan Oleh Oleh Digital
Masa kuliah di Jogja (2009-2013) membawa nostalgia digital ini ke tingkat yang lebih tinggi. Tambahan uang saku bulanan dari kantor Bapak, berkisar antara 300 hingga 450 ribu, saya sisihkan sedikit demi sedikit. Tujuannya? Membeli hard disk eksternal Toshiba berkapasitas 500 GB! Sekali lagi, dengan bantuan finansial dari Ibu.
Di masa kuliah, hard disk ini tidak hanya berfungsi sebagai alat penyimpanan. Setiap kali pulang ke Pekalongan, saya membawa “oleh-oleh digital” untuk Bapak. Video konser band atau penyanyi favorit Bapak, hasil perburuan di warnet langganan saya di Babarsari, Satria Net. Server lokal di sana selalu diupdate, mulai dari MP3, video konser, film, series, hingga episode anime terbaru. Setiap kali saya pulang, Bapak akan asyik menonton video konser terbarunya di pagi atau sore hari, lalu melanjutkan dengan film di malam harinya.
Nostalgia dan Kehilangan
Banyak orang mungkin berpikir, “Aduh, ribet amat download lagu atau video konser.” Namun bagi saya, semua usaha itu justru menjadi momen kebersamaan yang sangat berharga dengan Bapak, yang tidak akan pernah terlupakan.
Di era streaming saat ini, yang hanya tinggal sekali klik, semua terasa jauh lebih mudah. Tidak perlu lagi repot-repot menghitung berapa ukuran file yang bisa dimasukkan ke dalam hard disk eksternal karena kapasitasnya terbatas.
Tapi, tidak ada lagi yang bertanya, “Nggit, ono film anyar?” atau “Ono video konser Queen?”
Bapak sudah tiada. Dan setiap kali saya mengingat masa-masa itu, saya hanya bisa tersenyum sendiri, membayangkan jika Bapak masih hidup di tahun 2024 ini. Mungkin Ibu akan semakin sering mengomel karena Bapak asyik menonton streaming menggunakan headset sambil tiduran di kursi panjang di ruang tamu, tak mendengar panggilan ibu dari ruang tengah. Ya, kenangan-kenangan sederhana itu ternyata yang sangat berharga.
Ternyata, kebersamaan yang sederhana saat memindahkan lagu dan video konser ke hp Bapak itulah yang paling membekas di hati saya.
Khushuushon ilaa ruuhi abii Supriyanto bin Sukandar. Allahumaghfir lahaa warhamhaa wa ‘aafihaa wa’fu ‘anhaa lahal fatihah.